Revenge is a Dish Best Served Cold

No: 033
Judul Asli: Le Compte de Monte Cristo
Penulis: Alexandre Dumas
Diterjemahkan dari edisi Bhs. Inggris:
The Count of MonteCristo terjemahan Lowell Blair
Penerjemah : Ermas
Desain Sampul: A. Wakidjan
Penerbit: Pustaka Jaya
Tgl Terbit: Cet. 1, 1980
Ukuran: 790 hlm; 17 cm
Tgl beli: pinjam @banditodemarco
Rating:  5/5

Kurang lebih lima atau tujuh tahun yg lalu salah seorang teman “dekat” saya menyarankan saya untuk membaca buku Count of Monte Cristo. Teman saya itu tidak mau mengatakan apa-apa saat saya bertanya itu buku apa? Tentang apa? Dia hanya tersenyum dan berkata: “Baca saja.”

Sejak saat itu saya menjadi terobsesi dengan buku ini. Apa sih isinya? Kenapa teman saya sangat menekankan kepada saya untuk mencari dan membaca buku ini? Apa yg menarik di dalamnya? Rasa penasaran saya sedikit terobati pada tahun 2002, saat buku ini di filmkan dengan judul: THE COUNT OF MONTE CRISTO dalam film ini Monte Cristo diperankan oleh Jim Caviezel.

Mungkin anda pernah mendengar pepatah dalam bahasa asing seperti ini: “revenge is a dish best served cold” yg artinya jika saya tidak salah adalah sebuah pembalasan dendam yg sempurna adalah pembalasan dendam yg dirancang pada saat kita tidak lagi dikuasai oleh emosi, direncanakan dengan sangat hati-hati dan dilakukan secara perlahan dalam waktu yg cukup lama. Singkatnya dingin dan tanpa hati.

Itulah gambaran yg rasa rasa paling cocok bagi keseluruhan cerita ini.

Sayangnya sejak melihat film tersebut, obsesi saya akan buku ini bukannya berkurang malah makin meningkat. Nek film-e wae apik banget, mestine bukune luwih apik meneh. Jadi saya sangat berterimakasih kepada @banditedemarco yg telah rela meminjamkan buku ini kepada saya tanpa batas waktu.

The Count of Monte Cristo menceritakan kisah hidup Edmond Dantes, 19 tahun, jurumudi pertama dari kapal bertiang tiga Le Pharaon. Saat dalam perjalanan pulang ke Marseilles, kapten kapal Le Pharaon, Kapten Lecrece jatuh sakit dan meninggal dunia. Sebelum meninggal sang kapten berpesan kepada Dantes supaya singgah di Pulau Elba dan mengantarkan sebuah bungkusan kepada Marsekal Bertrand. Saat menyerahkan paket tersebut, Dantes bertemu dengan Sang Kaisar dan dititipi sebuah surat untuk disampaikan kepada pendukungnya di Marseilles.

Kematian Kapten Leclere memberikan keuntungan bagi Dantes, sebagai jurumudi pertama secara otomatis dia berhak mengambil alih kepemimpinan di kapal. Dan karena Dantes memiliki kepribadian yg baik, jujur dan cekatan, Tuan Morrel (pemilik kapal) memilihnya sebagai kapten kapal Le Pharaon yg baru. Dengan perasaan senang, Dantes berpamitan pada Tuan Morell untuk menemui ayahnya dan mengambil cuti untuk menikahi Mercedes, tunangannya.

Hal ini menimbulkan perasaan iri di hati Tuan Danglars, kepala tata usaha kapal Le Pharaon. Tuan Danglars bekerja sama dengan Fernand Mondego (sepupu Mercedes) yg juga mencintai Mercedes, dan Caderousse (tetangga) yg iri akan nasib baik Dantes. Mereka bertiga menciptakan plot untuk menjatuhkan Dantes. Mereka mengirim surat keada Jaksa Penuntut Umum yg isinya mengesankan bahwa Dantes adalah pendukung Napoleon dan seorang mata-mata yg berbahaya. Atas dasar surat pengaduan tersebut Dantes ditahan dan digelandang ke kantor polisi tepat pada saat hari pernikahannya.

Karena Jaksa Penuntut Umum sedang tidak ada di Marseilles, wakilnya Tuan de Villefort yg menggantikan. Ia meminta surat titipan yg dibawa Dantes dan memeriksanya. Selepas membaca surat tersebut, mulut Tuan de Villefort terkunci rapat dan tubuhnya gemetar. Ia meminta Dantes bersumpah untuk tidak mengatakan apapun soal surat tersebut. Tuan de Villefort bersimpati kepada Dantes dan berjanji akan membantunya, lalu ia memerintahkan Komisaris Polisi untuk membawa Dantes pergi.

Berharap bisa segera dibebaskan dan menemui tunangannya Mercedes, Dantes malah langsung dikirim ke Puri If, penjara yg tersohor mempunyai tradisi kekejaman selama berabad-abad. Disana ia ditempatkan di penjara bawah tanah yg lembab dan dingin. Bertahun-tahun mendekam di tempat itu telah membuat harapan Dantes pupus, untunglah ia bertemu dengan Abe Faria, seorang pastor yg lebih dulu dipenjara disana. Dari pastor inilah harapan Dantes tumbuh kembali. Setiap hari, Dantes mengawali harinya dengan bersumpah untuk membalaskan dendamnya kepada musuh-musuhnya. Dirancanglah sebuah plot yg paling sempurna dan mematikan.

Seperti pepatah yg sudah saya kutip diatas, Dantes telah merancang degan cermat aksi balas dendamnya. Namun Dantes tidak turun tangan sendiri, ia hanya membuka jalan dan menyebar umpan disana-sini, karena sejatinya ia masih menyisakan sedikit pengampunan bagi musuh-musuhnya. Ketamakan dan ketakutan mereka sendirilah yg membawa mereka pada kematian.

Puas!!! Itulah perasaan saya saat selesai membaca buku ini. Pantas klo buku ini masuk dalam jajaran cerita klasik sepanjang masa, rentang waktu puluhan tahun sejak buku ini diterbitkan tak membuatnya usang. Tidak pula menjadi bosan jika dibaca berkali-kali. Ceritanya memikat, alurnya tertata dengan rapi. Tidak perlu risau dengan banyaknya tokoh yg bermunculan, baca saja terus… karena seperti menyusun sebuah puzzle semua akan terlihat indah diakhir cerita.

Buku yg ada ditangan saya ini adalah buku terbitan Pustaka Jaya, cet. 1 tahun 1980. tebal 790 halaman dengan font kecil dan spasi sedikit rapat. Buku ini sudah sulit didapatkan dipasaran. Tapi bagi yg ingin membaca cerita ini bisa mencari versi Bentang yg terbit thn 2011. Kabarnya terjemahan yg beredar di Indonesia adalah versi ringkas dari buku aslinya yg setebal 1276 halaman dalam 173 bab. Dalam versi aslinya diuraikan secara detil metamorfosa Dantes menjadi Monte Cristo, juga langkah-langkah yg dia ambil untuk membalas dendam. Hmm, jadi tak sabar ingin membaca versi aslinya. Ebook sudah ditangan, tunggu apa lagi 😀

Note:
– Hubungan antar tokoh dalam buku ini bisa dilihat disini
– Buku ini termasuk dalam “1001 Books You Must Read Before you Die”


“Ya, kita semua tidak ada yg abadi.” Kata pemilik kapal. “Lagipula yg tua mesti memberi jalan bagi yg muda-muda. Bila tidak demikian tak mungkin ada kemajuan bagi yg muda-muda.” – p.7

Siapakah yg berbicara tentang Tuhan dan putus asa dalam satu tarikan napas?” -p. 77

Terkutuklah mereka yg menjebloskanku ke dalam lubang penderitaan itu dan mereka yg lupa bahwa aku pernah di dalamnya. – p. 175