Lokasi: Raja Ampat, Papua
Aku duduk termangu-mangu di balai kayu. Kakiku menyaruk-nyaruk pasir putih di bawahnya hingga butirannya berkelip bertaburan tertiup angin. Sementara di kejauhan sebuah perahu boat tertambat terombang-ambing diayun ombak.
“Ah… apa yang harus kulakukan?” keluhku resah. Teringat lagi percakapanku dengan Papa dan Mama sebelum kularikan diriku ke Pulau Misool, pulau di ujung Barat Selatan negeri ini.
“Pokoknya kamu harus mau menerima pinangan keluarga Broto,” kata Papa tegas “Mau ditaruh dimana muka Papa kalau sampai kamu tolak pinangan mereka.”
“Tapi…” selaku lemah.
“Nggak ada tapi-tapian. Keluarga Pak Broto sudah banyak membantu Papa. Saat orang lain berpaling hanya keluarga mereka yang mengulurkan tangan. Ini satu-satunya cara membalas budi baik mereka.”
♦♦♦
Dika,
Papa mau jodohin aku sama orang-orangan sawah. Bantuin gagalin pertunangan ini atau… sekalian aja kamu kawinin aku? Terserah deh bagaimana caranya yang penting aku nggak jadi kawin sama makhluk dari goa itu.
Kalau sampai aku kawin sama dia. Mungkin ini adalah perjalananku yang terakhir. Tidak akan ada lagi cerita eksotisme negeri ini dariku. Risa akan lenyap selamanya.
Need your help, really… I’m desperate.
Luv,
Risa
Sepenggal email yg kukirimkan pada Dika beberapa waktu yang lalu menangkap jelas kegundahanku. Aku mengenal Dika tanpa sengaja, waktu itu Dika mencari teman untuk backpackeran bareng keliling Indonesia. Kegilaan kami akan travellinglah yang telah mendekatkan kami berdua.
“Melebihi jempol dan telunjuknya,” kata Dion, sahabatku, soal kedekatan kami.
Kepadanya aku tak sungkan-sungkan membagikan perasaanku, bersamanya aku bisa menjadi diriku sendiri. Dika selalu bisa diandalkan dalam situasi apapun dan diam-diam aku mengaguminya namun tak berani berharap lebih. Tapi sialnya sang petualang itu seperti meghilang saat dibutuhkan.
♦♦♦
Matahari mulai enggan bersinar, cahayanya meredup menyisakan dingin yang menawarkan kebisuan. Sementara aku masih terangguk-angguk disini. Aku tenggelam dalam pikiranku hingga terlambat menyadari sesosok laki-laki mendekatiku. “Pasti pemilik resort lupa kalau aku tak mau diganggu.” batinku kesal.
“Maaf resort ini tidak terbuka untuk umum.” teriakku mengusir laki-laki itu.
Tapi laki-laki itu terus saja mendekat seolah tak peduli dengan peringatanku barusan, yang jelas bukan karena budek karena suaraku cukup keras untuk membangunkan macan tidur.
“Halo selamat sore… maaf mengganggu kesendirian anda?” sapa laki-laki itu sambil tersenyum ramah.
Aku terkejut… suara itu… suara yang aku kenal. Kubuka kaca mata hitamku, kupandangi sosok di depanku yang tak mungkin kulupakan meski telah berbulan-bulan tak bertemu. Aku menjerit tak percaya. “Dika!!!” Aku berlari ke arahnya kusurukkan tubuhku ke pelukannya, aku pukuli sepuasnya hingga aku kelelahan. Kami berdua tertawa sekeras-kerasnya.
“Eh… ngapain kamu di sini? Nyusul aku ya? Kok bisa tau aku ada di sini?” berondongku sambil bergelayut di lengan Dika.
“Dika… apa sih yang dia nggak tahu. Apalagi soal Risa,” kata Dika sembari menepuk dadanya.
“Cuih… najis!” kataku sambil pura-pura meludah, “Seriusan Dik, aku nanya beneran. Ngapain kesini?”
“Loh bukannya kamu yang kirim email minta dikawinin?” kata Dika sambil menjawil puncak hidungku.
Aku melengos malu, “Becanda itu Dik, waktu itu aku lagi buntu.”
“Setelah menerima emailmu, aku merubah rencana perjalananku. Secepatnya aku pulang ke tanah air, karena buatku kamu jauh lebih berharga dari petualangan paling menantang sekalipun.” kata Dika, suaranya berubah menjadi serius, “Aku kemari untuk menjemputmu, untuk meminta kesediaanmu menikah denganku.” lanjutnya lagi.
Aku terkejut mendengar kata-kata Dika, bak petir menyambar di siang hari bolong. Kupandangi lekat-lekat bola matanya mencari sepercik keraguan, kutatapi sudut bibirnya dalam-dalam menanti muntahan gelak tawanya. Tapi bibir itu tetap diam tak ada canda dalam katanya. Dan sorot mata itu… tajam sekaligus lembut.
“Kamu… kamu… bercanda kan Dik?”
“Ada saatnya kita bergelak-gelak dalam tawa tapi ada pula saatnya kita harus serius mensikapi hidup. Apalagi jika hal itu tentang masa depan kita.” kata Dika sambil memandangku. “Jadi… Arisa Putri Kurniawan bersediakah kamu menjadi istriku?” tanyanya mantap.
Aku terpana, lidahku kelu aku tak sanggup berkata-kata. “Aku… aku bersedia.” kata-kata itu meluncur begitu saja tanpa bisa kutahan, “Eh… tidak… tidak, hal ini tak mungkin terjadi. Papa pasti sangat marah jika tahu tentang ini, dia pasti tidak mengijinkan aku menikah denganmu.”
“Risa… jangan khawatirkan soal papamu.” katanya lembut sambil menyimpan tawa.
“Tidak… bagaimanapun juga aku tidak mau jadi anak durhaka. Meskipun aku sangat menginginkanmu.” kataku lemah.
“Hmm… mungkin cara bertemu kita yang salah.” sela Dika.
“Eh… maksudmu?” kataku bingung.
Dika berdiri dari duduknya, mengebaskan butiran pasir putih dari celananya. Diulurkannya tangannya, “Hallo Risa, perkenalkan nama saya Ardika Buana Subroto. Saya…”
Aku berlari menghambur ke pelukan Dika. Tak kupedulikan lagi sisa kata-katanya. Kutumpahkan semua tangisku di dadanya. Ah… sepertinya perjalananku masih belum akan berakhir, mungkin masih ada lagi, tidak bukan mungkin tapi pasti.
Note:
Flash Fiction Day 15
Postingan ini disertakan dalam kontes 15 Hari Ngeblog FF2