Burlian

Burlian

No : 080
Judul : Burlian (Serial Anak-Anak Mamak #02)
Pengarang : Tere Liye
Penerbit : Republika
Cetakan : IX, Juni 2014
Jumlah Halaman : iv + 339
Rating : 3/5

Terlalu lama tidak menulis review itu membuat saya jadi seperti orang gagu. Pengen ngomong tapi bingung musti mulai dari mana. Burlian adalah buku ke-2 dalam Serial Anak-anak Mamak yg terdiri dari 4 judul buku. Judul ke-4 buku tersebut diambil dari nama anak-anak Mamak yaitu: Eliana, Pukat, Burlian & Amelia. Meskipun Burlian adalah anak ke-3 tapi bukunya terbit lebih dulu, hal ini bisa terjadi karena Burlian memang anak yg spesial 🙂

Shakespeare boleh bilang “Apalah arti sebuah nama?” Tapi saya percaya nama adalah doa, sebuah permohonan dari orang tua untuk anak-anak mereka. Dan saya juga percaya akan kekuatan “brainstroming.” Jika seorang anak selalu dipanggil bodoh, dungu, lemot, dsb lama-lama julukan tersebut akan melekat padanya dan sedikit banyak memberikan sugesti negatif yg membuat anak tersebut percaya bahwa dirinya memang bodoh, dungu, dsb. Bagi Bapak & Mamak, Burlian adalah anak yg “Spesial” karena dengan cara itulah orang tua Burlian mencoba menumbuhkan keyakinan dan rasa percaya diri Burlian supaya ia tumbuh menjadi anak yg tidak mudah putus asa dan memiliki kepercayaan diri yg tinggi dan bisa menggapai impian-impiannya.

Bagi saya buku ini tergolong buku “easy reading” karena gaya penulisannya ngga mbulet. Sempet khawatir klo inget buku Tere Liye yg “Nggak Banget” itu karena terlalu berbusa-busa. Saya seperti membaca memoar seorang Burlian. Anak desa dari pedalaman Sumatera yg mempunyai cita-cita tinggi untuk bisa melihat luasnya dunia. Banyak pesan moral yg bisa kita ambil dari buku ini. Yg paling membekas buat saya adalah cara Bapak & Mamak mendidik anak-anaknya. Mereka bisa bersikap tegas kepada anak-anaknya. Jika Burlian berbuat salah, Bapak & Mamak tidak segan-segan menghukum mereka, tentu saja dengan hukuman yg mendidik. Saya juga belajar dari Mamak pentingnya menepati janji yg pernah kita buat kepada anak-anak kita, jangan pernah membohongi mereka. Selain itu masih banyak pesan moral lainnya di dalam buku ini.

Untuk anak muda jaman sekarang, buku ini mungkin terasa jadul. SDSB benda apakah itu? Tapi… buat mereka yg hidup di masanya SDSB adalah fenomena tersendiri. Masa Orde Baru dimana Nepotisme masih sangat kental. Masa dimana stasiun tvnya cuma ada 1 yaitu TVRI. Aih Burlian, ternyata kita seumuran ya :p

Rembulan Tenggelam Di Wajahmu

No: 052
Judul: Rembulan Tenggelam Di Wajahmu
Penulis: Tere Liye
Desain Sampul: Eja-creative14
Penerbit: Republika
Cetakan: ke-8; Januari 2012
Ukuran:  iv + 426 hlm.; 20,5 x 13,5 cm
ISBN: 978-979-1102-46-9
Rating:  3/5

FULL SPOILER ALERT:

Kalau dikasih kesempatan untuk bertanya lima pertanyaan tentang misteri hidup anda, kira-kira anda mau bertanya apa?

  1. Kenapa aku harus menghabiskan masa kanak-kanak di panti asuhan itu? Kenapa tidak di tempat lain?
  2. Apakah hidup ini adil?
  3. Mengapa langit tega mengambil istrinya? Kenapa takdir menyakitkan itu harus terjadi?
  4. Kenapa aku merasa hampa, padahal aku telah memiliki segalanya?
  5. Kenapa harus mengalami sakit yang berkepanjangan? Kenapa takdir sakit itu mengungkungku?

Itulah lima pertanyaan yg selama ini membebani benak Ray. Istimewanya Ray berkesempatan mendapatkan jawaban atas kelima pertanyaan itu sesaat sebelum maut menjemputnya. Demi menjawab kelima pertanyaan itulah kita dibawa oleh seorang malaikat berwajah menyenangkan meloncati ruang dan waktu, bergerak maju mundur untuk melihat kembali fase kehiduan Ray yg telah terlewati.

Perjalanan dimulai dari masa kecil Ray di panti asuhan. Tempat yg sangat dibencinya karena disana ia tidak mendapatkan kasih sayang yg dibutuhkannya. Pengurus panti asuhan itu sering berlaku kejam, bahkan memanfaatkan anak-anak panti untuk mengejar ambisi pribadinya.

“Siklus sebab akibat itu sudah ditentukan. Tidak ada yg bisa merubahnya, kecuali satu: Yaitu kebaikan. Kebaikan bisa merubah takdir” – p.83

Disinilah Ray mendapatkan jawaban pertamanya. Seseorang yg memahami betul siklus sebab-akibat akan mengisinya dengan kebaikan, tidak peduli seberapa kecil kebaikan itu. Karena kecil-besar nilai kebaikan itu langitlah yg menentukan, kecil-besar pengaruhnya bagi orang, langitlah juga yg menentukan. Bukan berdasarkan ukuran manusia.

Jadi kenapa Ray harus menghabiskan masa kecilnya di panti asuhan itu? Karena Ray menjadi sebab atas akibat yg akan diterima kawan kecilnya. Dan kawan kecilnya itu akan menjadi sebab atas akibat yg akan diterima penjaga panti. Demikianlah siklus kehidupan kita saling berpilin satu sama lain. Kebaikan kecil yg kita lakukan yg tak berarti dimata kita bisa menjadi sebuah rahmat bagi orang lain.

Dari panti asuhan itu kita dibawa melesat ke perhentian kedua, rumah singgah. Tempat dimana Ray pada akhirnya merasa menemukan keluarga yg selama ini dicarinya. Tempat dimana Ray akan menemukan jawaban atas pertanyaan keduanya. Apakah hidup itu adil? Pertanyaan yg sulit bahkan bagi seorang malaikat untuk menjawabnya.

Mungkin kita sering lantang berteriak, “Tuhan tidak adil.” Padahal kehidupan itu selalu adil. Hanya saja keadilan langit itu mengambil berbagai macam bentuk. Meski tidak semua bentuk itu kita kenali.

Seringkali kita harus merelakan sesuatu untuk memperoleh sesuatu yg lebih besar. Kadang kejadian itu berlangsung dengan sangat buruk, hati kita harus lapang menerimanya. Harus bisa berdamai dengan kejadian itu seburuk apapun itu. Karena pasti ada hikmah di balik kejadian buruk itu, ada sesutu yg indah pada akhirnya.

Jadi apakah hidup ini adil? Jawabannya adalah Ya!  Sayangnya saat keadilan Tuhan itu buruk rupanya, kita sebagai manusia cenderung menolaknya, tidak mau menerimanya. Sibuk mencari pembenaran dengan menyalahkan orang lain.

Waktu kembali melesat, meloncat dan berputar. Satu demi satu pertanyaan Ray terjawab sudah. Bagaimana ia harus mengatasi kehilangan yg dialaminya, bagaimana ia harus bijak mensikapi hidupnya, dan kembali ia dihadapkan pada hukum sebab-akibat pada pertanyaan kelima. Sebuah novel yg berhasil dengan baik memotret siklus kehidupan seorang manusia. Sayangnya sang penulis membiarkan endingnya setengah menggantung, membiarkan pembacanya merangkai sendiri cerita penutupnya.

Apa yg saya suka dari Tere Liye? Karena dia memiliki gaya bercerita yg khas, bahasanya sederhana tapi selalu indah dan sarat akan makna. Dari ketiga bukunya yg sudah saya baca, temanya selalu unik. Tidak biasa. Karakter-karakternya jg sangat kuat, bukan sosok yg digambarkan serba sempurna hingga tak terjangkau oleh nalar. Tapi manusia biasa yg juga memiliki sisi gelap.

Saya menemukan banyak sekali typo tanda baca di dalam buku ini. Padahal buku ini adalah cetakan ke-8 hal yg tidak seharusnya terjadi, kecil tapi sangat mengganggu. Meskipun demikian saya tetap menyarankan anda untuk membaca buku ini. Kali ini tutup mata dengan covernya yg kurang menarik, karena isi di dalamnya sangat bermakna.

Sebuah buku yg sangat sayang untuk dilewatkan.


“Kalian mungkin memiliki masa lalu yg buruk, tapi kalian memiliki kepal tangan untuk merubahnya. Kepal tangan yg akan menentukan sendiri nasib kalian hari ini, kepal tangan yg akan melukis sendiri masa depan kalian.” – p.96

“Kalian akan tetap menjadi saudara di mana pun berada, kalian sungguh akan tetap menjadi saudara. Tidak ada yg pergi dari hati. Tidak ada yg hilang dari sebuah kenangan. Kalian sungguh akan tetap menjadi saudara.” – p.97

Kalau Tuhan menginginkannya terjadi, maka sebuah kejadian pasti terjadi, tidak peduli seluruh isi langit-bumi bersekutu menggagalkan. Sebaliknya, kalau Tuhan tidak menginginkannya, maka sebuah kejadian niscaya tidak akan terjadi, tidak peduli seluruh isi langit-bumi bersekutu melaksanakannya.” – p.213

Indahnya Mencintai Karena Allah…

No: 045
Judul: Hafalan Shalat Delisa
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Republika
Tgl Terbit: Cetakan ke-12, Oktober 2010
Ukuran:  270 hlm.; 20.5 x 13.5 cm
Tgl beli: pinjam @kaskus66
ISBN: 978-979-321-060-5
Rating:  3/5

Ini adalah novel Tere Liye yg pertama saya baca. Mengambil setting saat bencana tsunami melanda negri kita tercinta pada penghujung 2004 silam, tepatnya di Lhok Nga, Banda Aceh.

Novel ini dimulai dengan kisah sebuah keluarga yg sangat harmonis dan religius. Keluarga Abi Usman, Ummi dan keempat putrinya. Tokoh sentral dalam novel ini adalah Delisa, gadis kecil nan lucu berusia 6 tahun yg tengah sibuk menghapal bacaan shalat karena tak lama lagi ia akan menghadapai ujian di sekolahnya. Ada sebuah tradisi dalam keluarga bahagia ini, setiap putri yg lulus hapalan shalatnya akan diberikan sebuah hadiah. Ummi pun sudah menyiapkan hadiahnya, sebuah kalung emas berikut liontinya yg berbentuk huruf “D” dari kata Delisa.

Delisa yg masih berusia 6 tahun berjuang keras menghapalkan bacaan shalatnya. Dan saat hari ujian tiba Delisa telah siap dan dengan tertib menunggu namanya dipanggil oleh Ibu Guru Nur. Saat gilirannya semakin dekat, wajah Delisa memucat. Ia takut jika tiba-tiba lupa dengan bacaan shalatnya seperti Shubuh tadi. Ummi memberi semangat dan meyakinkan kalau Delisa pasti bisa. Akhirnya Delisa maju dengan hati mantap. Ya Allah Delisa siap shalat yg sempurna untuk pertama kalinya kepadaMu. Delisa mengangkat tangannya dan mengucapkan takbir “Allaahu-akbar!”

Nun jauh disana, puluhan kilometer jauhnya dari tempat Delisa melaksanakan ujian prakteknya sebuah bencana terjadi dengan sangat cepat. Sebuah bencana besar yg meluluh lantakkan semuanya, meratakan kota Lhok Nga. Tanpa pernah disadari oleh Delisa yg tengah khusu mengerjakan shalatnya, bencana itu merenggut orang-orang yg dikasihi Delisa dan memutuskan hapalan shalat Delisa.

♥♥♥

Dengan gaya bercerita yg lugas dan apa adanya (nggak pakai bahasa tinggi) membuat saya lupa kalau tengah membaca sebuah novel, saya lebur ke dalam suasananya. Banyak cerita dalam buku ini yg sangat menyentuh perasaan dan membuat mata saya berkaca-kaca. Dua kali saya hampir menangis keduanya saat Delisa memeluk orang tuanya dan berkata: “Delisa cinta Ummi/Abi karena Allah.”

Banyak pelajaran yg bisa diambil dari buku ini, diantaranya adalah ketulusan, ketabahan dan keikhlasan dalam menerima semua ketentuan dari Allah.

Sebetulnya saya ingin memberikan 4 bintang untuk buku ini, tapi saya sangat terganggu dengan banyaknya footnote. Seakan-akan saya tengah membaca buku catatan Om Tere Liye bukan sedang membaca novel. Tolong ya om, lain kali kalau membuat sebuah novel, berikan footnote secukupnya saja itupun yg ada hubungannya dengan jalannya cerita, atau sekedar menjelaskan suatu kejadian. Untuk endingnya saya nggak banyak berkomentar, sedikit maksa sih tapi dramatis.

Pada akhirnya dengan semua kelebihan dan kekurangannya, buku ini menjadi wajib dibaca bagi mereka yg tengah mencari makna arti kehidupan.