Lost

Dekut Burung Kukuk

No: 076
Judul : Lost
Pengarang : Eve Shi
Penerbit : GagasMedia
Tahun Terbit : Cet. 1; 28 januari 2014
Tebal Buku : 310 hlm
Genre : Horror
Rating : 3/5

3x APTB dan habislah buku ini

Cukup lama ya waktu yg diperlukan untuk menyelesaikan buku ini, padahal bukunya tidak terlalu tebal.

Seandainya tidak ada event BUBARKAN SERAPIUM, saya, mungkin tidak akan pernah membaca buku ini. Bukan karena buku ini jelek tapi karena saya lebih suka membaca buku bergenre fantasi. Sedangkan buku ini adalah buku bergenre horror yg bisa membuat bulu kuduk berdiri.

Tentang apa sih buku ini? Dan seberapa berat kadar kehorrorrannya? *ditimpuk EYD*

Buku ini berkisah tentang 2 orang kakak beradik yg baru pindah ke sebuah apartemen. Sejak pindah ke apartemen tersebut, Maura, sang adik bisa merasakan, mendengar bahkan melihat adanya makluk tak kasat mata yg tinggal di apartemen tersebut. Sosok yg Maura temui di apartemen bukan hanya 1 tapi lebih. Sejauh ini sosok-sosok tersebut tidak/belum mengganggu Maura secara fisik, tapi cukup membuat Maura ketakutan.

Kalau kita mengalami hal-hal seperti Maura, pasti bawaannya pengen buru2 kabur kan. Tapi Maura nggak, meskipun takut Maura tetep kasak-kusuk kesana kemari mencari keterangan. Keingintahuan Maura inilah yg mempertemukannya dengan Julian, cowok ABG yg tinggal di seberang unit Maura. Seperti Maura, Julian juga bisa melihat keberadaan sosok-sosok tersebut. Bedanya Julian lebih ahli dalam hal ini karena ia memiliki bakat turunan dari sang kakek. Bersama-sama mereka mencoba memecahkan misteri yg melingkupi Ilustre Casa, apartemen mereka.

Saya mencoba menghubungkan judul dengan keseluruhan cerita. Pemilihan kata Lost sebagai judul buku, dimungkinkan untuk menunjuk pada jiwa-jiwa yg tersesat. Jiwa-jiwa yg masih punya urusan di dunia ini. Sayangnya buku ini lebih banyak menceritakan hal-hal yg kurang begitu penting. Kesan horrornya jadi menurun beberapa derajat. Kurang fokus ke masalah hantunya jadinya nggak sengeri The Amytiville ataupun The Excorcism *eh itukan film ya*

Selain ending menggantung yg bikin kesel, saya tidak menemukan kekurangan lainnya. Alurnya terbilang cepet meskipun muter-muter, dialognya juga enak dibaca. Cuma label buku horror kurang pas disematkan untuk buku ini *efek baca buku horror di APTB, jadi nggak berasa*

Desain grafis buku ini cukup lumayan, covernya cukup menyeramkan. Terbukti banyak orang2 di APTB yg mengkerutkan jidatnya saat melihat sampul buku ini. Cuma berasa familiar nggak sih dengan gaya hantu di sampul buku ini?

Jadi, seberapa besar kadar horrornya?
3 dari 5

Jomblo: Sebuah Komedi Cinta

No: 057
Judul: Jomblo: Sebuah Komedi Cinta
Penulis: Adhitya Mulya
Gambar Sampul: Yan B.
Pendesain Sampul: Tim Kreatif GagasMedia
Penerbit: GagasMedia
Tebal: 175 hlm; 18 cm
Cetakan: Ke-4 Januari 2004
ISBN: 979-97784-9-2
Rating: 2/5

Apa jadinya jika empat orang mahasiswa jomblo akut mencari cinta? Konyol pastinya. Itulah yg akan anda temui saat membaca buku debutan Adhitya Mulya ini.

Agus, Doni, Bimo dan Olip adalah empat mahasiswa tingkat 3 jurusan teknik sipil Universitas Negri Bandung (UNB) yg masih berstatus jomblo. Alasan mereka menjomblo berbeda satu sama lain.

Agus minder dengan tampangnya yg pas-pasan, Olif masih terus ngumpulin keberanian buat nembak cewek idolanya hingga 3 tahun lamanya. Sementara Doni yg wajahnya paling lumayan, mantan anak band pula sengaja menjomblo karena tidak ingin terikat. Sedangkan Bimo, anak malang dengan tampang paling menyedihkan lebih memilih gele sebagai pacarnya.

Lama-lama mereka gerah juga dengan status jomblo yg cukup lama disandang, maka dimulailah perburuan mereka mencari cinta. Melihat kualitas jomblowan kita, sebetulnya saya ragu mereka akan menemukan apa yg dicari. Tapi bukankah Tuhan itu telah menciptakan manusia secara berpasang-pasangan, bahkan bagi Bimo yg katanya bertampang caur itu. Jadi akankah mereka menemukan cintanya?

Buku yg ada di tangan saya ini adalah cetakan ke-4 dengan setting akhir tahun 90-an dan baru saya baca pada kwartal ketiga tahun 2012. Meskipun demikian buku ini tetap enakkeun dibacanya, ga jadul gitu.

Bahasa yg dipilih adalah bahasa sehari-hari yg apa adanya, tidak berbusa-busa dan lucu. Saya suka gaya bahasa yg seperti ini karena mudah dipahami.

Sebagai penulis baru, sangatlah tepat jika Adhitya Mulya memilih alur bercerita cenderung maju dengan diselingi sedikit flashback. Hal ini bisa mencegah inkonsistensi waktu yg cenderung dilakukan para penulis baru (astaga baca ulang kalimat terahir ini, gimana ya? Sombong sekali saya memangnya situ oke?)

Meskipun tidak disebutkan secara jelas, saya berani menggolongkan buku ini ke dalam genre metropop (metropop = novel populer dengan penggunaan bahasa yg ringan dan biasanya bercerita tentang kisah cinta). Sebagai novel metropop kemasan buku ini sudah sangat pas. Tidak terlalu tebal, kertas HVS dan pemilihan font yg cukup besar membuat buku ini mudah digenggam dan dibaca. Desain sampulnya juga cukup mewakili isi bukunya, meskipun siluetnya lebih ganteng daripada aslinya.

Secara keseluruhan, Jomblo: Sebuah Komedi Cinta, cukup menarik untuk disimak karena meskipun membahas tentang cinta, tidak lantas membuat buku ini cengeng. Isinya yg ringan disampaikan dengan gaya bercerita yg lucu dan tidak berlebihan menjadi nilai tambah tersendiri.

Selain ending yg kurang jelas alias ngegantung ada beberapa konten dalam buku ini yg saya sesalkan, apalagi kalau bukan soal sex dan obat terlarang meskipun (mungkin) memang seperti itulah kenyataannya. Ada baiknya jika penerbit menambahkan label NOVEL DEWASA di bagian sampulnya. Memang sih pemberian label tidak akan mencegah 100% anak-anak yg belum cukup umur untuk menemukan buku ini, tapi minimal ada sedikit kepedulian dari pihak penerbit untuk turut memberikan bacaan yg sehat sesuai dengan usia pembacanya.

Yakuza Moon

No: 044
Judul: Yakuza Moon
Penulis: Shoko Tendo
Penerbit: Gagas Media
Tgl Terbit: Cetakan ke-5, 2009
Ukuran:  252 hlm.; 14 x 20 cm
Tgl beli: 060612 di TB. Leksika KC
ISBN: 979-780-268-X
Rating:  4/5

Wow… ada Yakuza Moon di buku murah TB. Leksika KC.
Memang bukunya bagus?

Hehehe nggak tau lah, kan belum baca.
Lha terus kenapa dibeli?
Hah! Masih tanya kenapa? Ga liat covernya sekeren ini?

Yah… saya memang punya satu kelemahan soal buku, yaitu cover buku. Selama covernya itu indah, artistik, keren, wah, dsb. masalah isi jadi nomer sekian bagi saya. Seperti buku ini. Sebaliknya niat saya untuk membeli sebuah buku yg sudah lama ditunggu bisa lenyap begitu saja gara-gara covernya yg nggak banget.

Jadi mari kita bahas terlebih dahulu mengenai cover bukunya. Pada bagian belakang buku anda bisa melihat sosok sang penulis, Shoko Tendo. Apa pendapat anda? Cantik dan stylish sekali kan? Tapi tunggu sampai ia membuka bajunya. Pasti pikirannya langsung pada ngeres nih… bukan itu maksud saya. Saat Tendo membuka bajunya anda pasti akan terkejut dibuatnya, karena tubuh Tendo dipenuhi tato. Yah… sosok perempuan yg ada di sampul buku ini adalah sosok Tendo, sang penulis buku ini sendiri.

Sekarang perhatikan gambar tatonya. Artistik dan sangat indah. Buat sebagian orang tato adalah sesuatu hal yg tabu. Tapi bagi saya tato tetaplah sebuah karya seni, hanya medianya yg berbeda. Tapi klo ditanya, “Apakah anda ingin punya tato?” Emm… tunggu dulu, saya memang menikmati tato tapi bukan berarti saya ingin memilikinya. Ah… basi sekali saya.

Awalnya saya mengira buku ini adalah sebuah karya fiksi, ternyata saya salah. Buku ini adalah autobiografi dari Shoko Tendo. Seorang perempuan yg lahir dan besar di keluarga Yakuza. Kalau anda berfikir jadi Yakuza itu keren dan hebat, maka buku ini akan membuka mata anda. Menjadi Yakuza tidaklah sehebat sangkaan saya selama ini, meskipun hidup mereka bergelimang kemewahan bagi orang Jepang sendiri anggota Yakuza hanyalah warga kelas dua, orang buangan.

Tendo tumbuh dalam situasi penuh tekanan dari lingkungannya. Hinaan, cercaan dan perlakuan kasar dari teman sekelasnya jadi makanan sehari-hari. Kehidupan semakin sulit saat ayahnya harus masuk penjara dan mengalami kebangkrutan. Sifat ayahnya berubah drastis menjadi kasar dan suka mabuk-mabukan. Hal ini mendorong Tendo untuk memberontak dan memilih menjadi Yanki, berandalan yg mengecat rambutnya dengan warna putih, berdandan menor, nge-fly dengan menghirup thinner dan doyan kebut-kebutan dengan mobil balap yg dibuka knalpotnya.

Seperti lazimnya anak berandalan, ujung-ujungnya mereka akan terjerat pada narkoba dan seks bebas. Begitupun dengan Tendo yg pada akhirnya kecanduan dengan zat Amfetamin dan menjadi budak seks para lelaki. Tendo jatuh dari satu lelaki ke lelaki lainnya, sebagai wanita simpanan yg kadang memperlakukannya dengan sangat kejam.

Perubahan pada diri Tendo mulai terjadi saat ia memutuskan untuk mentato tubuhnya. Saat melihat Tendo, sang maestro menyarankan untuk mentato tubuh Tendo dengan sebuah gambar yg hebat.

“Ini Jigoku Dayu. Ia pelacur kelas atas di era Muromachi. Ia tokoh nyata, dan tinggal di Sakai sini. Para perempuan ini hidup di tempat-tempat pelacuran, bekerja sampai mereka bisa menebus diri mereka, atau menarik perhatian seorang tuan yg bisa membebaskan mereka. Itu kehidupan yg keras.” – p.149

Dan sosok Jigoku Dayu seolah-olah melebur dalam diri Tendo, meminjamkan sedikit kekuatannya.

“Ketika aku melihat tato indah itu, perasaanku dipenuhi oleh suka cita yg tak pernah kualami sebelumnya. Aku merasa seperti menemukan kebebasanku.” – p.151

Dalam karya pertamanya ini Tendo tampil dengan cerdas. Gaya berceritanya yg blak-blakan, jujur dan cenderung vulgar namun tidak lantas menjadi saru berhasil membuat saya ikut merasakan kerasnya, putus asa, perihnya luka, rasa sakit, kesedihan dan semangat yg dialami Tendo. Rangkaian kata demi kata tersusun dengan sangat apik, membuat saya enggan melepaskan buku ini sebelum menghabisinya. Meskipun saya merasa ada beberapa bagian yg tidak diceritakan dengan detil dan terkesan diperhalus, lebih dari cukup buat saya dan seperti kata Tendo, “Cukup bagiku jika Anda bisa menikmati apa yg kutuangkan disini dan menafsirkannya sekehendak Anda.”