Madre

No: 019
Judul Asli:  Madre
Penulis:  Dee/Dewi Lestari
Alih Bahasa: –
Desain Sampul:  Fahmi Ilmansyah
Penerbit:  Bentang Pustaka
Tgl Terbit: Cet. ke-1; Juni 2011
Ukuran:  162 hlm; 14×20 cm
Tgl beli:  29 Jan 2012, Lapak Buku Blok M Square
Rating:  2/5

“Apa rasanya sejarah hidup kita berubah dalam sehari
Darah saya mendadak seperempat Tionghoa,
nenek saya ternyata tukang roti dan dia,
bersama kakek yang tidak saya kenal,
mewariskan anggota keluarga yang tidak pernah saya tahu:
Madre.”

Semula saya mengira akan disuguhkan sebuah cerita cinta yg romantis, coba ucapkan kata Madre… eksostis bukan. Saya  membayangkan seorang laki-laki yg setengah putus asa mengejar belahan jiwa sambil memanggil-manggil Madre… Madre… Baru setelah saya tahu kalau Madre ini diambil dari bahasa Spanyol yg artinya ibu, imajinasiku sedikit berubah… oh mungkin ini kisah cinta seorang ibu terhadap anaknya, atau semacam itulah.

Jadi tak salah kalau setengah jalan saya membaca buku pengen jedotin kepala ke tembok. Buyar sudah semua bayangan saya tentang Madre. Mungkin begitu juga perasaan Tansen menghadapi kenyataan yg ada di depan matanya. Jauh-jauh dari Bali membuang semua kesenangan yg dimilikinya demi Madre, adonan biang roti yg telah berumur 70 tahun.

Stop dulu sampai disini… kalau anggur saya masih bisa paham kenapa semakin lama disimpan semakin mahal harganya, tapi ini adonan roti. Menyimpan makanan 3 hari saja di dalam kulkas pasti keluar jamurnya, lha ini kok bisa adonan roti disimpan selama puluhan tahun… dipakai untuk bikin roti pula. Konyol, absurd dan ngawur. Maaf itu pendapat saya yg ga ngerti sama sekali tentang roti, dan di buku ini ga membantu sama sekali ga ada footnote yg menjelaskan kalau adonan biang roti itu memang nyata. Oke, noted… cari referensi tentang hal ini.

Balik lagi ke novelnya. Jadi seperti yg sudah saya sebutkan diatas, Tansen seorang pemuda yg cinta akan kebebasannya tiba-tiba diserahi sebuah tanggung jawab untuk merawat Madre. Ya… Madre biang roti yg telah menjadi jiwa bagi Toko Roti Tan de Bakker. Semula Tansen berniat menjual Madre seharga 100jt, tapi ia mengurungkan niatnya dan malah bertekat mengembalikan kejayaan Toko Roti Tan de Baker.

Mungkin karena wujudnya cerpen, masalah yg dibangun dengan apik pada awal cerita cepat berlalu dan ceritanya berubah jadi hambar dengan ending yg sangat bisa ditebak. Apa yg bisa kita ambil dari sini adalah bila kita berusaha bersungguh-sungguh pasti akan berhasil “man jadda wajada”.

Sebetulnya selain Madre masih ada beberapa cerpen dan puisi lainnya, tapi maaf saya malas mereviewnya. Cerpennya kurang berisi, terlalu singkat dan ekspresi saya hah begitu aja… beneran nih, bolak-balik halaman nyari sambungan. Sedangkan puisinya khas Dewi Lestari, ketinggian… otak saya ndak sampai. Please… mbak Dee lain kali kalau buat buku itu yg manusiawi sedikit, kasihanilah orang-orang seperti saya yg pengen baca karyamu itu.

Dua Nuansa Saling Melengkapi

No: 017
Judul Asli:  Rectoverso
Penulis:  Dee/Dewi Lestari
Alih Bahasa: –
Desain Sampul:  –
Penerbit:  Good Faith Production
Tgl Terbit: Cet. ke-4; Januari 2009
Ukuran:  154 hlm; 14×21.5 cm
Tgl beli:  29 Jan 2012, Lapak Buku Blok M Square
Rating:  3.5/5

“… Mereka yang tidak paham dahsyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tidak paham energi cinta akan meledakkannya dengan sia-sia. Dirinya bukan malaikat yang tahu siapa lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama. Tidak penting. Ia sudah tahu. Cintanya adalah paket air mata, keringat dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang.”

Sebetulnya saya sedikit trauma dengan karya Dewi Lestari, karena supernova berhasil melemparkan saya ke sudut ruangan dengan satu pemahaman bahwa sayalah orang terbodoh di dunia karena tidak berhasil menaklukkannya.

Namun ketakutan saya sirna seiring saya membuka lembar demi lembar rectoverso. Meskipun menggunakan bahasa yg puitis dan melankolis yg cenderung berlebih buku ini tidaklah sesulit pendahulunya. Dan sayapun menaklukkannya…

Kuncinya jangan terburu-buru! Saya memilih untuk mendengarkan CD nya terlebih dahulu untuk mendapatkan feelnya, sambil memanjakan mata saya dengan desain grafisnya, menekan-nekan emboss judulnya, dan berlama-lama menatap ilustrasi didalamnya. Meskipun saya sedikit terganggu dengan foto yg terkesan dipaksakan harus masuk semua, tidaklah mengurangi minat saya untuk cepat-cepat membacanya.

Saya putar ulang CD nya dan perlahan saya nikmati sambil membaca bukunya. 11 kisah, 11 lagu dan jangan lupakan 11 puisi kait mengait menciptakan nuansa yang unik.

“… Aku teringat detik-detik yang kugenggam. Hangat senyumnya, napasnya, tubuhnya, dan hujan ini mengguyur semua hangat itu, menghanyutkannya bersama air sungai, bermuara entah kemana. Hujan mendobrak paksa genggamanku dan merampas milikku yang paling berharga. Hujan bahkan membasuh air mata yang belum ada. Membuatku seolah-olah menangis. Aku tidak ingin menangis. Aku hanya ingin ia pulang. Cepat pulang. Jangan pergi lagi.”