Requiem


Requiem

No: 082
Judul : Requiem (Delirium #3)
Pengarang : Lauren Oliver
Penerbit : Mizan Fantasi
Tahun Terbit : 15 Januari 2015
Tebal Buku : iv + 144 hlm.
Rating : 3 of 5

Masa lalu sudah mati, tidak pernah ada lagi.

Setelah menyelamatkan Julian dari hukuman mati, Lena dan para pemberontak melarikan diri ke Alam Liar. Namun pemerintah terang-terangan menyatakan perang dan Alam Liar bukan lagi tempat aman. Para Invalid diburu dan dibunuh. Hal terpenting sekarang adalah bertahan hidup, dan melawan… atau mati.

Sementara itu, Hana hidup nyaman tanpa cinta di Portland. Dia telah disembuhkan, dan akan menikahi gubernur muda. Namun bayangan Lena selalu menghantui. Jauh di dalam hati, Hana merasa bersalah atas pengkhianatan yang telah dia lakukan.

Requiem, puncak perjuangan melawan penguasa. Requiem, saksi pertemuan sepasang remaja yang pernah saling mencinta, pertemuan kembali seorang ibu dengan anak gadisnya, dan pertemuan kembali dua sahabat dari dua dunia berbeda. Tembok sudah dirobohkan, dunia harus siap menerima perubahan.

Akhirnya buku pamungkas dari Delirium series muncul juga. Covernya keren, saya suka desainnya. Close-Up seorang wanita yg ga terlalu cantik tapi menarik. Apalagi cover Requiem ini masih ada kemiripan dengan cover buku keduanya Pandemonium. Sayangnya cover Delirium, buku pertama serial ini ga nyambung banget dengan 2 buku lainnya.

Requiem, apa sih maksudnya? Dari situs artikata.com saya dapat penjelasan sebagai berikut:

  1. a song or hymn of mourning composed or performed as a memorial to a dead person
  2. a musical setting for a Mass celebrating the dead
  3. a mass celebrated for the dead
  4. a mass said or sung for the repose of a departed soul

Jadi, Requiem yg dimaksud dalam buku ini itu apa? Em… Emm… Emmm… *garuk-garuk lantai*

Saya mulai membaca Requiem ini kurang lebih 2 tahun setelah Pandemonium. Jeda waktu yg cukup lama membuat saya lupa dengan jalan ceritanya. Di awal-awal saya masih mencoba mencari benang merah buku ke-2 dengan buku ke-3. Sampai saya sadar klo ternyata saya belum selesai baca buku ke-2. Oalah, kadung baca ya uwis lanjuttt…..

Requiem dibagi menjadi 2 POV antara Lana & Hana yg disajikan secara selang-seling.

Agak-agak sebel pas baca POV Lena, karakternya kurang berkembang *IMHO* dan peran Lena dalam peperangan kurang begitu menonjol. Pengennya sih Lena bisa seperti Katniss si Mocking Jay itu lho, sayangnya hampir sepanjang buku ini Lena lebih banyak galaunya, bingung diantara 2 pilihan, Alex atau Julian.

Saya pribadi lebih suka dengan POV Hana. Saya bisa merasakan perubahan yg terjadi pada diri Hana. Setelah disembuhkan, Hana menjadi gadis penurut. Masa depannya sudah ditentukan, jodohnya sudah ditetapkan. Tapi, ada sesuatu yg salah pada diri Hana, sesuatu yg ia yakini sebagai kegagalan proses penyembuhan.

Sebagai pamungkas sebuah trilogi yg diawali dengan endang *cuma ngasi 3 bintang padahal* buku ini menutup Delirium series dengan kentang. Actionnya kurang banyak, endingnya nggantung dan gak nyelesein apa-apa. Ceritanya mereka berhasil merobohkan dinding pembatas, bayangan saya langsung lari ke tembok Berlin. Setelah mereka berhasil merobohkan dinding, lantas apa? Kita tidak pernah tahu apa yg ada dibalik dinding. Apakah mereka selamat lantas happily ever after atau malah senapan & meriam siap menghadang langkah mereka. Saya sebagai pembaca terpaksa mengarang sendiri endingnya karena epilognya jg ga ada. Yg ada malah sisipan cerita tentang Alex selama dia menghilang. Jadi 3 bintang untuk covernya yg keren.

Other Review in the Series:

Terjangkit Virus Amor Deliria Nervosa

No: 026
Judul Asli: Delirium
Penulis: Lauren Oliver
Alih Bahasa: –
Desain Sampul: –
Penerbit: Mizan Fantasy
Tgl Terbit: –
Ukuran: 518 hlm
Tgl beli: 03 April 2012, TM. Bookstore Poins Square
Rating: 3/5

Ah… satu lagi buku bergenre dystopian. Sepertinya istilah “latah” juga melanda para penulis. Hanya karena Hunger Games menjadi booming, semua menulis tentang dystopia. Gak percaya? Tengok saja sederet buku berikut ini Uglies, Maze Runner, Shatter Me, Incarceron, Divergent, dan masih banyak lagi buku yg katanya bergenre dystopia itu.

Delirium adalah buku kedua Lauren Oliver setelah Before I Fall yg sempat melambungkan namanya (di negaranya sana yah, disini mah nggak), buku ini juga mengambil genre dystopia tersebut. Alkisah ada sebuah dunia dimana cinta adalah tabu, dimana gairah adalah sebuah dosa besar, dimana musik, puisi dan tari adalah sesuatu yg terlarang. Peraturan yg dibuat dengan sangat ketat ini dimaksudkan untuk mencegah para remaja tertular penyakit sebelum mereka bisa disembuhkan. Semua penduduk yg genap berusia 18 tahun, diwajibkan mengikuti prosedur penyembuhan dari wabah penyakit “amor deliria nervosa.”

“Karena cinta akan mempengaruhi pikiranmu hingga tidak bisa berfikir dengan jernih,
atau membuat keputusan yg rasional untuk kebaikanmu sendiri.”

Lena Halloway, seorang gadis yg usianya beranjak 18 tahun sedang menunggu giliran untuk “disembuhkan.” Sejarah keluarganya yg suram membuat Lena tak sabar menunggu sembilan puluh lima hari yg harus dilaluinya sebelum ia mendapatkan predikat “telah disembuhkan.” Ia ingin seperti teman-temannya yg setelah disembuhkan menjadi lebih stabil emosinya, lebih tenang pembawaannya, bebas dari wabah cinta, dan tidak perlu khawatir lagi akan dikenai jam malam. Bebas… itulah yg diinginkan Lena.

Namun semuanya berubah saat Lena berkenalan dengan Alex Sheates. Bersama Alex, Lena berani melanggar peraturan dan perlahan-lahan mengenal arti kebebasan yg sesungguhnya. Sayangnya waktu terus berjalan, dan proses penyembuhannya semakin dekat. Lena harus memilih antara kebebasan yg dijanjikan oleh pemerintah selama ini atau kebebasan baru yg belum lama dikenalnya dari Alex.

Delirium memiliki konsep cerita cukup menarik, dimana cinta adalah sebuah penyakit yg bisa mengakibatkan ketidakseimbangan emosi yg berbahaya dan bisa mengakibatkan kematian pada penderitanya. Sayangnya tidak ada penjelasan yg masuk akal kenapa dan sejak kapan cinta dikatagorikan sebagai penyakit berbahaya. Jadi sepanjang saya membaca buku ini, benak saya terus bertanya, “Apa sih masalahnya dengan cinta? Mengapa cinta yg selama ini begitu diagung-agungkan harus menjadi momok yg ditakuti.” Karena yg saya tahu, kehilangan cintalah yg patut diwaspadai karena bisa mengakibatkan efek galau berkepanjangan. Hahaha… maaf, tapi saya masih berharap akan menemukan jawaban itu di buku selanjutnya.

Kemudian soal pemilihan genre yg katanya dystopia itu, kesan saya selama ini dystopian adalah sebuah dunia dimana tatanannya sudah rusak parah, kebencian, kemiskinan, kelaparan dan penderitaan dimana-mana hingga untuk sekedar berharap akan adanya secercah cahayapun tak bisa. Namun hal itu tidak saya peroleh disini. Penggambaran yg detil dari sang penulis memudahkan saya membayangkan situasi dan suasananya. Hidup penduduknya ga susah-susah amat kok, masih bisa makan, minum, sekolah, dll. Hanya memang dibatasi dengan aturan yg ketat, jadi sangat jauh dari kesan dystopia yg ada dalam bayangan saya selama ini. Malah rasa-rasanya era yg diambil tidak jauh dari masa sekarang, kurang tepat saja klo dikatagorikan sebagai buku bergenre dystopian.

Alur cerita mengalir dengan lambat dan sedikit membosankan. Untunglah setengah buku ke belakang alurnya mulai berjalan dengan cepat dan berhasil membawa saya ikut merasakan ketegangan dan bunga-bunga cinta yg mulai mekar. Karakter yg ada didalamnya terasa datar. Mungkin memang disengaja untuk mendapatkan kesan sebuah kehidupan tanpa emosi. Hanya Hana, sahabat Lena, yg karakternya terasa hidup karena ia berani mengekspresikan dirinya. Sayangnya, sepanjang membaca buku ini saya tidak pernah bisa lepas dari bayangan Uglies Series buku yg sempat saya baca. Banyak sekali kemiripan-kemiripan diantaranya.

Meskipun demikian (lupakan kekurangan-kekurangan diatas) saya sangat menikmati membaca buku ini, karena Oliver berhasil meyampaikan ceritanya dengan indah. Secara keseluruhan Delirium, buku yg ditujukan untuk para remaja ini adalah sebuah buku bergenre dystopia (meskipun bukan murni dystopian) yg cukup baik dan layak dibaca. Saya sangat menantikan terbitnya buku kedua Pandemonium. Akan seperti apakah ceritanya nanti?

Mungkin sebagai perbandingan boleh dicoba membaca buku disamping ini. Karya Scott Westerfeld yg bercerita tentang dystopian world, dimana kecantikan dan kesempurnaan lahiriah menjadi sesutu yg dipuja-puja.

Dan… mungkin anda akan setuju dengan saya 🙂