Perfume: The Story of a Murderer

No: 040
Judul Asli: Perfume: The Story of a Murderer
Penulis: Patrick Suskind
Penerjemah: Bima Sudiarto
Penerbit: Dastan Books
Tgl Terbit: Cet. 5, Juni 2006
Ukuran:  428 hlm; 12,5 x 19 cm
Tgl beli: Tahun 2012 di Keramba
ISBN: 979-3972-05-X
Rating:  2/5

Sekitar tahun 1738 kota-kota disesaki oleh aroma asing yg menyengat campuran antara bau pupuk kandang, bau pesing, jamur kayu, kotoran tikus, sampah, lemak daging domba, tambang, dll. Orang-orangnya pun tak mau kalah, mereka menebarkan bau keringat, bau gigi busuk, bau nafas beraroma bawang dan berbagai penyakit.

Jean-Baptiste Grenouille dilahirkan di salah satu kota yg memiliki bau paling busuk yaitu di pasar ikan. Kelahiran Grenouille tidak diinginkan oleh ibunya, bahkan ibunya lebih suka membunuh bayi yg dilahirkannya. Hal ini mengantarkan ibu Grenouille pada hukuman mati. Grenouille tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu, berpindah dari satu ibu susu ke ibu susu yg lainnya.

Grenouille dilahirkan berbeda dengan manusia normal lainnya, ia tidak memiliki aroma tubuh. Sebagai gantinya Grenouille dianugrahi indra penciuman yg sangat tajam dan memori yg kuat. Ia bisa mengenali, memilah-milah dan menyimpan aroma apapun yg pernah dihirupnya secara detil.

1 September 1753 adalah hari ulang tahun penobatan Raja Prancis, tapi bagi Grenouille hari itu adalah hari dimana obsesi panjangnya dimulai. Awalnya Grenouille hanya mencium secuil aroma yg sangat menyiksa batinnya dan membuatnya putus asa. Grenouille mengendusi udara pagi mencari asal aroma tersebut. Ia terus melangkah hingga menemukan seorang gadis berambut merah tengah mengupas buah plum. Grenouille tersenyum dan menghirup dalam-dalam aroma tubuh si gadis laksana candu. Ia harus berhasil mendapatkan dan menyimpan aroma ini.

Sebuah cerita yg menarik dengan ide yg orisinal dimana seseorang terobsesi oleh bau tubuh manusia. Sayangnya gaya penulisan yg terlalu banyak narasi terasa bertele-tele dan membuat saya cepat bosan. Satu-satunya yg membuat saya bertahan membaca buku ini adalah karena penasaran bagaimana cara Grenouille menangkap aroma tubuh manusia.

Dari 25 gadis yg dibunuh, hanya gadis terakhir yg diceritakan proses penyimpanan aroma tubuhnya. Itupun di jelaskan dengan sepintas lalu. Jujur saya merasa kecewa dengan buku ini karena terkesan setengah-setengah. Untunglah imajinasi saya terbantu dengan filmnya yg sempat saya lihat beberapa waktu yg lalu.

Oh ya sedikit spoiler untuk endingnya. Sebagian besar mengatakan bahwa ending buku ini menjijikkan, tapi bagi saya ending cerita dalam buku ini justru menjadi klimak setelah lelah menunggu. Antara perasaan ngeri, jijik, takjub, geli, kasihan, ironis bahkan sedikit bersyukur. Untunglah tidak diceritakan dengan sangat detil karena saya pun pasti akan bergidik membacanya. Buat yg tertarik membaca buku ini saya lebih menyarankan untuk melihat versi filmnya dalam bentuk DVD. Karena penggambarannya lebih kena menurut saya. Grenouille yg di film juga lebih ganteng 😀

Ah… ingin rasanya memberi tiga bintang untuk idenya yg orisinil. Tapi karena ceritanya nanggung dan narasinya menyebalkan, 2 bintang cukuplah.

Note:
– Buku ini termasuk dalam “1001 Books You Must Read Before you Die”



Genggaman Tangan

Lokasi: Air Terjun Tawangmangu

“Lebaran kali ini kita pulang ke rumah Eyang di Solo.”

Sheina yang tengah membaca novel misteri pembunuhan terkejut, “Hah! Males ah ma, ngapain sih ke rumah nenk sihir.” kata Sheina.

“Hush! Jaga mulut kamu, jangan sampai Papa dengar kata-kata kamu barusan.” Mama mendelik. “Pokoknya kita ke Solo.” Jawab Mama sembari meninggalkan kamar si kembar.

“Papa dan Mama ga asyik!” Protes Sheina sambil melemparkan buku yang tengah dibacanya.

“Enak lagi kak liburan ke rumah Eyang bisa ketemu sama saudara yang lainnya.”

“Kamu sih anak emasnya eyang.” Tukas Sheina sengit.

 “Kakak sih bandel.” Goda Sheila.

 ♦♦♦♦♦

Pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Adisumarmo. “Touchdown Captain!” Seru Sheila lucu. “Eh… Pa kita ada yang jemput nggak?”

“Katanya mau dijemput Damar.” Jawab Papa.

Sheina yang masih merasa kesal menimpali “Damar? Siapa tuh, belum pernah denger?”

“Putranya Pakde” Jawab Papa. “Cakep lo anaknya.” Tambah Papa lagi.

Sheina mengerucutkan bibirnya, “Cakep dari Hongkong.”

Tak lama kemudian seorang pemuda bertubuh tinggi tegap dan berwajah ganteng menghampiri mereka “Maaf… Om Satrio ya?” Sapanya. “Saya Damar Om. Putra sulungnya Pak Jati.” Katanya lalu mengulurkan tangan.

Sebelum Papa sempat meyambut tangan Damar, Sheina menyerobot dari belakang lalu mengulurkan tangannya. “Eh! Kak Damar, saya Sheina, putri sulungnya Pak Satrio.” Sheina memasang senyum termanisnya.

♦♦♦♦♦

“Sheina apa-apaan kamu ini cepat minta maaf sama Eyang!” Hardik Papa.

“Nggak mau, Papa jahat!” Sheina menghentakkan kakinya lalu lari masuk kamar.

“Gak adil! Eyang gak adil!” Jerit Sheina, merenggut gelang emas di tangannya dan membuangnya.

Sheila menyusul di belakangnya, “Kak… kakak ga boleh begitu, gelang ini kan pemberian Eyang.” Sheila memungut gelang yg terpuruk di sudut kamar.

“Aku yang lebih tua. Seharusnya aku yang memilih duluan.”

“Kata Eyang gelang dan kalung ini beratnya sama.” Sheila mencoba menenangkan kakaknya.

“Tapi kalungnya lebih bagus, ada liontinnya. Sementara gelang ini, ga ada bagus-bagusnya!”

“Ya udah kalau kakak lebih suka kalungnya kita tukeran aja.” Sheila melepas kalungnya.

Wajah Sheina langsung berseri-seri. “Beneran kamu mau tukeran? Kamu memang adik yang paling baik.” Katanya sambil mengecup pipi Sheila.

“Buat kakak apa sih yang nggak. Oh iya kak cepetan siap-siap, sebentar lagi Damar dateng mau ngajak jalan-jalan ke Tawangmangu.”

♦♦♦♦♦

“Ih… penuh banget sih!” keluh Sheila. “Mau jalan aja susah!”

“Ya beginilah kalau lebaran hari kedua.” Damar tersenyum melihat Sheila yang cemberut di belakangnya. Di lihatnya Sheila berjalan tersaruk-saruk menuruni tangga. Beberapa kali badannya terhempas ke kiri dan ke kanan, terdorong oleh pengunjung yang menyesaki Tawangmangu.

“Kasian anak Om Satrio yang cantik ini dari tadi kedorong-dorong terus. Sini aku bantuin!” Damar mengulurkan tangannya.

Sheila merasa sebal sedari tadi jadi bahan ledekan Damar, tapi tak urung diterimanya tangan damar dan digenggamnya erat-erat sambil tersenyum.

Sheina yang ada di depan mereka melihat kejadian itu. Ia melihat Damar & Sheila berjalan bergandengan tangan sambil tersenyum. Timbul perasaan iri dalam hatinya. “Kak aku pengen naik ke atas.” Kata sheina tiba-tiba.

“Ngapain ke atas, naiknya susah jalannya licin.” Tolak Damar halus.

“Aku pengen liat pemandangan dari tebing.” Rajuk Sheina sembari memandang ke tebing. “Pasti indah jika dilihat dari atas sana.”

Damar terpaksa menuruti keinginan Sheina dan mengajak si kembar naik ke atas. “Hati-hati katanya. Jangan terlalu ke pinggir”

“Wuaaa indahnya.” Seru Sheina dari bibir tebing. “Untung kita memutuskan naik, rugi kalau sampai nggak. Aduh kalungku!!!”

Sheila mendekati kakaknya. “Ada apa kak?”

“Kalung dari Eyang jatuh.” Tunjuk Sheina ke sebuah dahan pohon di bawahnya.

“Hah! Kakak ini gimanan sih.” Sheila mengomeli kakaknya.

“Nggak sengaja jatuh Sel. Aku dah coba ambil tapi ga nyampe.”

“Tunggu Damar aja kak, biar diambilin pakai galah.”

“Damar kemana sih, beli minum aja lama banget. Keburu ilang kalungnya.” Sungut Sheina.

“Sini biar Sheila coba ambil.” Katanya sambil berjongkok. “Kakakkk!!!” Jerit Sheila saat ia terpeleset dan bergelantungan pada dahan pohon di bibir tebing.

Sheina buru-buru menjulurkan tangannya “Pegang tangan kakak!” Diraihnya tangan adiknya dan digenggamnya kuat-kuat.

“Kak… kakak pegangin tangan Sheila kak. Jangan lepasin.” Pinta Sheila sambil menangis.

“Tolong! Tolong! Adik saya jatuh.” Teriak Sheina.

Orang-orang buru-buru mendekati mereka, berusaha memberikan pertolongan. Sayang mereka terlambat, perlahan-lahan gengaman tangan mereka terlepas. Tubuh Sheila menghujam bumi.

Sheina bersimpuh di bibir tebing berteriak dengan histeris, air mata bercucuran. “Tidak… tidak. Ini salahku, semua salahku.”

Damar yang baru muncul memeluk Sheina berusaha menenangkannya. “Sudah Sheina… sudah. Jangan menyalahkan diri kamu, ini kecelakaan.”

Perlahan-lahan tangis Sheina mereda, hinggal tinggal sebuah isakan lirih. Sheina masih dipeluk erat oleh Damar, tak ada yang melihat sebuah senyum samar tersungging dibibir Sheina.

Noted:
Flash Fiction Day 10
Postingan ini disertakan dalam kontes 15 Hari Ngeblog FF2