The Invention of Hugo Cabret

No: 036
Judul Asli: The Invention of Hugo Cabret
Penulis: Brian Selznick
Penerjemah: Marcalais Fransisca
Penerbit: Dastan Books
Tgl Terbit: Cet. 1, Januari 2012
Ukuran:  543 hlm; X x Y cm
Tgl beli: Pinjam di Perpuserap
Rating:  3/5

Biarlah Gambar Yg Berbicara

“Siapa yg suka baca novel?”
“Saya.” Sambil tunjuk tangan.
“Kalo baca komik, siapa yg suka?”
“Saya… saya… saya!!!” Kali ini sambil lonjak-lonjak biar kelihatan.
“Nah, klo Novel dan Komik digabungin, masih suka nggak?”
Diem sambil ngedip-ngedipin mata, bingung. “Apa maksudnya kakak?”

Hugo Cabret adalah seorang anak yatim piatu yg tinggal di salah satu kamar yg ada di stasiun kereta api. Ia tinggal bersama pamannya yg bekerja sebagai pemutar jam di stasiun tersebut. Pada suatu hari pamannya pergi tapi tidak pernah kembali. Hingga waktunya memutar jam tiba, batang hidung pamannya tidak juga kelihatan. Karena takut ketahuan oleh kepala stasiun, Hugo menggantikan pamannya memutar semua jam yg ada di stasiun, berpura-pura seolah pamannya masih ada.

Hugo senang sekali menggantikan tugas pamannya, karena melalui celah-celah jam dinding Hugo bisa memandang ke arah toko mainan yg ada di stasiun. Jika situasinya tepat ia akan melesat melalui lorong yg berliku di balik dinding lalu keluar melalui lubang angin di samping toko mainan. Secepat kilat ia akan menyambar mainan yg diincarnya lalu menghilang ke balik dinding.

Sebelum meninggal, Ayah Hugo menemukan sebuah Automaton atau patung kayu yg bisa berputar di gudang museum tempatnya bekerja dan membawanya pulang. Bersama Hugo, mereka mencoba menghidupkan kembali patung kayu tersebut. Sekarang, tugas itu jatuh ke tangan Hugo. Untuk menghidupkan kembali patung kayu tersebut, Hugo menggunakan suku cadang dari mainan yg dicurinya.

Sementara itu Papa Georges, pemilik toko, menyadari hilangnya beberapa mainan dari tokonya dan bertekad untuk menangkap si pencuri.  Hingga pada suatu hari, saat tangan Hugo terulur menyambar mainan incarannya, Papa Georges langsung mencengkeramnya. Hugo meronta-ronta dan berhasil meloloskan diri. Sayangnya buku catatan kecil peninggalan ayahnya yg berisi gambar mekanis patung kayu tersebut jatuh ke tangan Papa Georges.

Esok harinya Hugo kembali ke toko tersebut dan minta bukunya dikembalikan, tapi Papa Georges menolak dan bertanya: “Dari mana kamu dapatkan buku ini?” Karena Hugo tidak mau menjawab, Papa Georges menyimpan buku itu. Hugo bertekat akan merebut kembali buku catatannya demi menghidupkan kembali patung kayu peninggalan ayahnya.

Sebuah buku yg unik, karena mencampurkan antara tulisan dengan gambar. Unik? Taelah… kemana aja lu, dari kapan tau juga udah ada buku semacam itu. Hehehe… nanti dulu jangan sinis dulu lah. Kenapa buku ini saya bilang unik? Karena berbeda dengan Gravel yg sedang booming saat ini, buku ini menggabungkan cerita dalam bentuk tulisan dan cerita dalam bentuk gambar. Jadi gambar-gambar yg ada dalam buku ini bukan sekedar pemanis cerita. Kalau anda bosan, lalu pass… pass… dan pass pada bagian gambar, anda nggak akan dapetin apa-apa. Jadi saat membaca buku ini nikmatilah pula gambar yg tersaji dan biarkan imajinasi liar anda yg menyusun ceritanya secara lengkap. Rasakan sensasinya.

Kalau dari isi cerita buku ini termasuk standar. Porsi gambar yg lebih banyak dibanding tulisan, hampir 90% sangat berhasil menjual buku ini. Terjemahan kata-katanya yg tidak banyak juga enak di baca, minim typo. Acungkan jempol untuk penerjemahnya. Satu hal yg tidak saya sukai dari buku ini adalah beratnya. Mungkin dikarenakan jenis kertas yg dipilih supaya gambar bisa maksimal membuat buku ini terasa lebih berat dari buku lain dengan ketebalan yg hampir sama.

Sebuah karya spektakuler yg layak disimak oleh siapapun juga. Karena dalam buku ini mengajarkan kepada kita untuk terus bersemangat dan berusaha. Meskipun jalan yg ada di depan kita seolah-olah tertutup harus terus… jangan putus asa, karena hasil yg indah, yg baik tersedia bagi mereka yg tidak berputus asa.

Oh hampir saya lupa, buku ini ternyata sudah dibuat filmnya dengan judul HUGO disutradarai oleh Martin Scorsese’s. Hugo Cabret diperankan oleh Asa Butterfield sedangkan Papa Georges akan dimainkan oleh Ben Kingsley.

Saya ingin tahu seperti apa buku ini jika difilmkan. terutama pada bagian gambar, dimana tidak ada dialog sama sekali. Penasaran, apakah dialog pada gambar tersebut sesuai dengan imajinasi saya saat membaca bukunya. Sayang saya belum mendapat kesempatan untuk menonton filmnya.

Menunggu Lampu Hijau

Aria menurunkan kecepatan laju motornya, lalu menepi. Kepalanya celingak-celinguk kebingungan. Keringat dingin mulai membanjiri tubuhnya.

“Ah sial!!! Gue ada dimana sih ini.” Ia merogoh kantung jaketnya, mengambil selembar peta buatan tangan yang lecek karena terlalu sering dilihat dan dilipat. Tak banyak membantu, peta yang dibuat secara asal-asalan dan tergesa-gesa itu malah semakin menyesatkannya. Aria turun dari motornya dan menghampiri bapak-bapak penjual makanan di pinggir jalan.

“Pak… maaf mengganggu, mau numpang tanya. Jam Gadang ke arah mana ya?”

“Oh dari sini adik terus saja, nanti sampai di perempatan belok kanan. Tinggal lurus saja, dari situ juga sudah kelihatan kok Jam Gadangnya.”

“Masih jauh nggak pak?”

“Nggak, sudah dekat kok.”

“Terimakasih pak.”

Aria melompat ke atas BMW-nya dan memacu sekencang mungkin. Dalam hati ia terus berdoa semoga bebek merah warnanya ini tidak protes mendadak. Diliriknya G Shock warna hitam yang membalut pergelangan tangannya, tinggal lima menit lagi.

“Tunggu gue… tunggu gue. Argh!!!” Aria berteriak melampiaskan rasa frustasinya.

Sampai di perempatan, lampu merah tengah menyala. Aria menekan pedal rem dalam-dalam, ban motornya berdecit memekakkan telinga. Satu umpatan dan sedikitnya dua pelototan mata terpaksa diterimanya dengan pasrah.

Ia hanya bisa tersenyum kecut, matanya terus menatap lampu lalu lintas di depannya. Rasanya lama sekali lampu itu berubah. Tangannya sudah gatal ingin memutar gas dalam-dalam.

“Hijau… hijau… hijau. Cepatlah berubah. Argh lama sekali. Jangan-jangan rusak ini lampu merahnya!!!” Aria meradang.

Lampu perlahan-lahan berganti hijau. Aria langsung menggeber motornya, membelok tajam ke kanan nyaris menyenggol motor seorang ibu yang ada disampingnya. Di kejauhan tampaklah Jam Gadang yang sedari tadi dicarinya.

“Astaga jauh sekali,” keluhnya “semoga tidak terlambat.”

Aria memarkir motornya dan berlari menembus lautan manusia. Sore itu cuaca di taman Sabai Nan Aluih sangat cerah, udaranya juga sejuk. Banyak pasangan, tua, muda ataupun keluarga dengan anak-anak mereka yang berjalan-jalan menikmati suasana di ikon kota Bukittinggi ini. Aria meliuk-liukkan tubuhnya berusaha tidak menabrak siapapun. Ia tidak mengharapkan hambatan sekecil apapun saat ini. Terngiang-ngiang kata-kata Sitra beberapa jam tadi, sebelum ia bergegas pergi.

“Temui Winnie the Pooh di bawah Jam Gadang. Jam empat sore tepat, jangan sampai terlambat. Ingat jam empat tepat!!!”

Tepat di bawah Jam Gadang, Aria menghentikan langkahnya. Didongakkan kepalanya ke araha Jam Gadang, jarum jamnya menunjuk angka IIII. Terengah-engah ia mencoba mencuri nafas sebentar, matanya berputar nyaris 180 derajat mencari sosok Winnie the Pooh.

“Masih ada waktu.” Pikir Aria.

Ia melihat sosok Garfield, Mickey Mouse dan Donald tapi tidak ada Winnie the Pooh. Aria membalikkan tubuhnya dan tepat dibelakangnya, kurang lebih 300 m dilihatnya sosok Winnie the Pooh tengah berbicara dengan seorang ibu-ibu paruh baya. Bergegas Aria menghampiri mereka.

Saat Aria mendekat, dilihatnya Ibu itu tersenyum menjabat tangan Winnie the Pooh dan mengucapkan terimakasih. Aria mendekat, dijawilnya lengan Winnie the Pooh.

“Maaf, saya Aria yang tadi menelepon.”

Winnie the Pooh menoleh, memandang Aria sambil berkata, “kamu terlambat, ibu itu baru saja mendapatkan tiket yang terakhir.”

Aria langsung meradang mendengar jawaban itu, “Bagaimana bisa, ini baru jam 4 tepat. Saya belum terlambat. Sesuai perjanjian kamu tidak bisa menjual tiket itu kepada orang lain sebelum jam empat lebih seperempat.

“No way. Sekarang sudah jam setengah lima. Karena kamu terlambat saya berhak menjual tiket tersebut kepada orang lain.

“Apa-apaan ini. Loe ga liat ya Jam Gadang segede gaban di belakang loe tuh.” Karena emosi tanpa sadar Aria berbicara dalam logat Jakarta yang sedikit kasar. “Jam itu baru menunjukkan pukul 16.10.”

Winnie the Pooh mengelengkan kepalanya pelan, “Jam Gadang itu terlambat 20 menit. Sudah dua hari ini, nggak ada yang tahu apa sebabnya.”

Aria jatuh lemas pada kedua lututnya. “Argh… maafkan aku Sitra. Ini smua gara-gara lampu merah sialan itu. Seandainya aku tidak tertahan disana saat ini aku pasti sudah memegang tiket konser Cherybelle yang kamu inginkan itu.”

Note:
Maaf, belum pernah lihat jam gadang. Yang terbayang malah tugu Jogjakarta.
Ini Flash Fiction pertama saya, maaf kalau kentang.